Oleh: Hendri, S.Pd
Dimas Ibnu Alias tetap bersemangat bersekolah sendiri di dalam kelas. Dia sekolah sendirian karena tak punya ponsel pintar (smartphone). Dimas merupakan siswa kelas VII SMPN 1 Rembang, Jawa Tengah. Bila teman-temannya mampu belajar dari rumah secara daring karena mempunyai ponsel pintar serta paket data, Dimas tidak bisa karena dia tidak punya ponsel pintar.
Di tempat lain, demi mencukupi kebutuhan anak sekolah yang harus belajar daring, Hermansyah (44) di Labuhanratu mencuri laptop seorang mahasiswa. Malangnya “niat mulia” tersebut gagal karena pelaku menangkap basah dan melaporkan ke polisi.
Di saat yang sama, ratusan orang tua mengeluh dalam pesan forward whatsapp, facebook, dan twiter, dan instagram. Mereka kelabakan mendampingi anak, tak mengerti materi yang diberikan guru, dan pusing tiap hari membeli pulsa atau numpang wifi tetangga yang baik hati. Tugas sehari-hari terabaikan, lauk makan siang telat disajikan. Belum lagi yang tak punya smartphone atau hanya punya satu tapi anak tiga yang belajar daring bersamaan. Mereka mengeluh memohon agar “Guru janganlah memberi tugas berat-berat, latar belakang kami tak sama dengan mereka. Guru sih enak, tinggal nyuruh-nyuruh, yang repot kami.”
Benarkah “guru enak-enak”? Kebetulan saya juga guru, maka saya tentu akan menjawab, “Siapa bilang? Materi yang kami beri sejak sebelum covid sudah begini. Sesuai tuntutan kurikulum, silabus, dan RPP. Bukan asal. Perlu juga diketahui, kami harus mengirim laporan online setiap hari, screenshot KBM, mengirim link video, dan memeriksa tugas-tugas. Lebih repot daripada hari-hari normal, hanya kali ini kami lakukan di rumah dan tak pakai baju dinas. Kami juga membeli kuota, membuat powerpoint, dan suka makan hati pas jadwal siswa yang hadir hanya 11 orang per kelas paling banyak. Mau marah? Tak mungkin.
Kita semua sama, korban situasi. Karena itu saya dengan rendah hati lebih suka mengajar daring dengan whatsapp saja, karena lebih mudah dan hemat. Saya malu harus memaksa memakai google meet atau zoom jika hanya 4 atau 5 siswa yang aktif. Sekolah tempat saya mengajar sangat heterogen dengan sosial ekonomi menengah ke bawah, bukan sekolah elit yang siswanya tajir dan fasilitasnya serba wah. Saya hanya mengajar anak SMP yang notabene masih ingusan, bukan mahasiswa yang sudah berkarakter dan tak payah dicecoki nasihat agar rajin belajar supaya pintar seperti bocah lagi.
Kita semua sama, merindukan suasana dulu. Kelas yang kini sunyi itu adalah kawah candradimuka pembentukan karakter sesungguhnya. Tapi apa daya, kebijakan masih mengharuskan tetap berjarak walau kadang ragu covid ini sudah pergi atau masih betah di sekitar kita. Apa covid ini hanya jadi modus untuk memuluskan program belajar online yang digadang-gadangkan mendikbud? Kita mungkin sudah mendengar jargon Mas Menteri, “Kita memasuki era dimana gelar tidak menjamin kompetensi, lulusan tidak menjamin kesiapan berkarya dan berkerja, akreditasi tidak menjamin mutu, dan masuk kelas tidak menjamin belajar.” Apakah karena ini?
Jadi bagaimana soal Dimas dan Hermansyah tadi? Kita pasti percaya dua sampel itu adalah fenomena gunung es. Kita yakin banyak yang sama dengan mereka dan barangkali luput dari pemberitaan. Ratapan ibu kandung (bukan lagi ratapan anak tiri) tercekik pulsa, kuota, dan tak mengerti mengajar anak. Bukankah sebaiknya anak-anak seperti Dimas ini mendapat perhatian? Jadi kenapa dana pendidikan yang mahabesar itu tak dimanfaatkan? Malah diberikan pada korporasi Sampoerna dan Tanoto untuk meningkatkan kualitas guru setiap tahunnya.
Namun yang pasti, semua ada hikmahnya. Mudah-mudahan setelah covid angkat kaki dan sekolah normal lagi, tidak ada lagi wali murid yang petentengan ke sekolah marah-marah, mengancam, lapor polisi, dan menjebloskan guru ke dalam penjara. Percayalah Bapak Ibu, tak mudah menjadi guru, dan tak mudah juga menjadi guru daring, dan lebih tak mudah lagi jika tak dihargai. (*)
Hendri, S.Pd adalah guru SMPN 2 Bangkinang Kota, Kampar, Riau.