Leading News For Education For Aceh
IndeksRedaksi

IGI Minta Masa Bakti Honorer Dipertimbangkan Saat Seleksi PPPK

Miris, Banyaknya Tugas Daring Membuat Siswa Ini Sampai Bunuh Diri
Ketua Umum JSDI, Muhammad Ramli Rahim (doc. MRR)

ACEHSIANA.COM, Jakarta – Ikatan Guru Indonesia (IGI) meminta pemerintah untuk mempertimbangkan masa bakti tenaga honorer saat dilakukan seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Permintaan itu disampaikan Ketua Umum IGI, Muhammad Ramli Rahim di Jakarta pada Jumat (24/1), menanggapi hasil Rapat Kerja Komisi II DPR dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Badan Kepegawaian Negara yang menyepakati penghapusan tenaga honorer secara bertahap.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pengganti tenaga honorer adalah PNS dan PPPK. Ramli mengingatkan bahwa pengganti tenaga honorer harus melalui jalur seleksi. Menurut Ramli, pemerintah harus mempertimbangkan masa kerja tenaga honorer saat seleksi tersebut dilaksanakan.

“Pengangkatan PPPK tanpa seleksi justru membuat pendidikan kita semakin hancur. Kita bisa belajar dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG). Hasil UKG menunjukkan bahwa kualitas guru kita masih rendah,” ujar Ramli kepada acehsiana.com.

IGI, tambah Ramli, menyarankan agar seleksi tersebut harus memberikan bobot kompetensi kepada tenaga honorer. Bobot kompetensi tersebut, kata Ramli, dapat dihitung berdasarkan masa pengabdian guru honorer. Ramli mencontohkan bobot 1% untuk setiap 1 tahun pengabdian.

“Sistem bobot ini dapat menjamin tenaga honorer saat ini mempunyai peluang lebih besar untuk lolos dibandingkan mereka yang baru masuk atau bahkan baru lulus sarjana,” terang Ketum IGI itu.

Lebih lanjut Ramli mengatakan bahwa bagi mereka yang baru lulus sarjana dan belum pernah mengabdi sama sekali memiliki bobot 0% sebelum seleksi. Sistem ini, ungkap Ramli, mengharuskan mereka yang baru lulus dan belum pernah mengabdi untuk memiliki kompetensi yang jauh lebih tinggi agar dapat bersaing dengan guru honorer.

“Bukankah guru honorer ini sudah mengikuti beberapa diklat yang dilaksanakan pemerintah? Nah, sistem ini menjamin diklat yang diselenggarakan pemerintah tersebut tidak sia-sia,” tutur Ramli.

Mengenai permasalahan guru honorer, Ramli menjelaskan bahwa itu terletak pada pola rekrutmen yang tidak merata dan tidak melalui analisis kebutuhan. Akibatnya, tegas Ramli, jumlah guru honorer tidak berimbang pada suatu sekolah. Akhirnya, jam mengajar dibagi rata seperti sepotong kue yang dipotong kecil-kecil.

“Adanya tenaga honorer yang berlebih juga kerap dimanfaatkan oleh guru PNS yang malas. Guru PNS seperti ini memang tidak banyak, akan tetapi merata di seluruh Indonesia. Guru ini sering memanfaatkan guru honorer untuk menggantikan jam mengajarnya kapanpun ia mau,” pungkas Ramli.

Pada bagian akhir keterangan pers, Ramli mengungkapkan bahwa tenaga honorer menjadi celah terjadinya guru titipan dari kepala sekolah, kepala dinas, kepala daerah, dan bahkan titipan pejabat baik daerah maupun pusat. (*)

Editor: Darmawan