Oleh. Fatmawati Ab
Idul Adha adalah salah satu hari besar Islam yang diperingati setiap tahun dengan penuh kemeriahan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Idul Adha kali ini juga diisi dengan agenda silaturahmi dari rumah ke rumah, mengunjungi sanak saudara, dan handai taulan, serta karib kerabat. Idul Adha adalah momentum silaturahmi bagi umat merupakan hal yang tidak bisa kita hindari. Ini sudah sudah menjadi tradisi di Aceh, silaturahmi seperti ini selalu diwarnai dengan hidangan-hidangan istimewa.
Sajian paling minim adalah minuman sirup, makanan ringan, kue kering dan kacang-kacangan. Sehari jika kita mengunjungi lima rumah maka bisa kita bayangkan besaran jumlah makanan dan cemilan yang berpindah dari toples kaca ke usus dan lambung kita.
Berbeda dengan Idul Fitri, Idul Adha memiliki kekhususan dengan adanya ritual penyembelihan korban berupa Sapi, Kerbau atau Kambing. Kegiatan penyembelihan dilakukan sepanjang hari tasyrik. Kita disuguhi menu daging berprotein hewani. Sungguh sebuah kenikmatan di hari raya kurban, namun dibalik kenikmatan itu, selera makan kita terganggu dengan hadirnya sajian-sajian yang mengandung penyedap rasa, baik di dalam kue atau pun minuman, dan khususnya juga dalam gulai atau sop daging. Industri kuliner yang tumbuh pesat di Aceh, dan sikap pragmatisme bisnis, serta budaya permissive telah meninggalkan beberapa catatan minus bagi semangat membangun budaya hidup sehat.
Catatan ini saya buat sebagai refleksi kegelisahan seorang warga penikmat dan pemerhati kuliner Aceh. Sejauh observasi yang ada, menu-menu kuliner Aceh, mulai diwarnai penyedap rasa yang terjadi secara permissive.
Bagi sebagian orang mungkin ini bukan isu serius, tetapi bagi sebagian lainnya lagi hal ini malah menuntut perhatian khusus juga. Karena itulah saya ingin berbagi disini.
Apa itu Micin?
Micin adalah nama populer dari MSG (Monosodium Glutamate) yang digunakan sebagai bahan penambah rasa gurih (umami) pada makanan. Glutamate itu sejenis molekul yang berfungsi sebagai penguat rasa.
Dahulu micin adalah penyedap rasa alami yang diperoleh dari proses pengolahan rumput laut. Seiring dengan perkembangan tekhnologi, kini micin dibuat dari proses fermentasi industri.
Micin adalah molekul garam yang dikombinasikan dengan asam amino L-Glutamate. Molekul garam ini digunakan untuk menstabilkan komponen glutamat. Glutamat yang terkandung dalam asam amino berperan sebagai pemberi rasa gurih. Bagi ahli kimia hal ini akan mampu mereka uraikan dengan jelas.
Sejauh pengalaman pribadi dan rekan sejawat yang saya temui, mengkonsumsi makanan bermicin terbukti memberikan dampak negatif langsung bagi tubuh seperti mengantuk, lemas, sakit kepala, mual, wajah memerah karena alergi, kesemutan, nyeri dada, dan lain-lain.
Boleh jadi hal tersebut timbul akibat dari konsumsi micin dalam dosis yang besar dan dilakukan dalam jangka panjang. Hal ini tentu tidak mutlak karena faktor micin saja, mesti juga dilihat faktor gaya hidup, pola makan, pola istirahat dan tingkat sensitivitas tubuh pada makanan bermicin (glutamate intolerant).
Hari ini dengan mudah bisa kita temui restoran, rumah makan, warung jajanan pinggir jalan yang menambahkan micin ke dalam produk makanannya. Makanan tersebut seperti bakso, lontong, segala jenis panganan mie, sambal-sambal, martabak telur, ayam goreng, gulai-gulai daging baik khususnya yang bersantan, bahkan menu-menu tradisional seperti kuah pliek chue, keripik singkong, dan lain-lain, semuanya sudah menggunakan micin ke dalam makanan olahannya.
Fenomena ini sungguh miris, karena sudah terbatas sekali dan sangat sulit kita temui tempat-tempat atau makanan yang tidak mengandung micin, terutama di kota-kota besar. Kenapa ini bisa terjadi? Paling tidak ada dua alasan, pertama, karena kurangnya rasa percaya diri si peracik bumbu, sehingga alih-alih menggunakan racikan bumbu alamiah mereka beralih ke bumbu-bumbu instan.
Kedua, dari sisi biaya, penggunaan penyedap rasa memang bisa menekan biaya produksi bila dibandingkan dengan menggunakan bumbu alamiah. Alasan kedua ini terutama menjadi pertimbangan khususnya dalam dunia bisnis.
Dosis Aman
Lembaga Food and Drug Administration Amerika Serikat (FDA) merekomendasikan besaran konsumsi micin adalah 30Miligram/berat badan/hari. Artinya untuk mereka yang berberat badan 50 kg maka dosis micin yang layak konsumsi perhari adalah 1,5 gram. Secara lebih sederhana bisa kita analogikan sama dengan mengkonsumsi 3 mangkok bakso karena rata-rata permangkok bakso berisikan 0,5 kadar micin, kecuali ada beberapa lokasi dagangan bakso yang memang sama sekali tidak memakan micin, atau sangat minimalis sekali jumlahnya.
Artinya micin cukup aman dikonsumsi bila masih dibawah ambang batas normal. Hanya saja pertanyaanya bagaimana cara mengukur bahwa kandungan micin yang masuk ke dalam tubuh kita, melalui makanan yang kita konsumsi, tidak melampaui takaran normal itu? Faktanya hampir semua makanan yang kita konsumsi sehari-hari sudah mengandung micin, dan kita seperti tidak punya ruang untuk menghindari atau menemukan warung-warung serta gerai-gerai makanan, atau jenis makanan kering yang bebas dari kandungan micin.
Sebenarnya rasa gurih pada makanan (umami) juga bisa kita ambil dari sumber-sumber bahan alami seperti pada tomat, kecap asin, jamur, sawi putih, rumput laut dan minyak zaitun. Hanya saja, seperti 2 alasan diatas, seringkali kita ingin mengambil jalan pintas (short cut) dengan menggunakan micin agar makanan terasa gurih.
Sebenarnya gurih yang ada adalah gurih yang manipulatif, dan menciptakan ketergantungan (addictive) yang dalam jangka panjang akan merusak tubuh.
Lalu apa yang bisa kita simpulkan, bijaklah dalam memilih makanan. Bila ada makanan yang mengandung kandungan nutrisi alami, kenapa harus memilih yang berfermentasi.
Makanan bernutrisi alami pun harus dikonsumsi dalam batas-batas yang wajar sesuai kebutuhan tubuh, yang juga sesuai dengan anjuran agama Islam. Konsumsi berlebih-lebihan, baik yang berbahan kimiawi maupun berbahan alami tetap saja merusak tubuh. Wallahu ‘alam
Penulis adalah Chef Organik Tinggal di Banda Aceh