Indonesia sebagai negara maritim dengan panjang pantai terbesar nomor dua di dunia masih belum mampu memanfaatkan potensi lautnya secara maksimal. Hal itu terlihat dari masih rendahnya kontribusi sektor maritim terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang hanya 6,8%. Selain itu, sumber daya manusia yang terlibat di dalam sektor maritim baru berkisar antara 1-2%. Padahal maritim adalah masa depan bangsa Indonesia, karena memiliki potensi 1,33 triliun US dolar per tahun.
Demikian dikemukakan Rofi Alhanif, Plt Sekretaris Deputi Bidang Koordinator Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Kemenkomarves, dalam Diskusi Daring bertajuk “Arah Pengembangan Kurikulum Kemaritiman dalam Mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia”, Selasa (11/8).
Kegiatan ini adalah inisiasi Jurusan Pendidikan Geografi bekerjasama dengan Kemenkomarves dan Kemendikbud yang fasilitas zoomnya didukung UPT TIK Unsyiah. Selain menampilkan Rofi Alhanif, dalam diskusi ini juga menampilkan Sri Hodayanti, Peneliti Ahli Muda Kemendikbud, dan Yusmiwati, Kepala SMK Negeri 1 Sabang. Kegiatan ini dipandu oleh A. Wahab Abdi, Ketua Jurusan Geografi FKIP Unsyiah, dan dibuka oleh Dekan FKIP Prof. Djufri.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa guna menjadikan laut sebagai sumber kehidupan masa depan, maka pembangunan kemaritiman ke depan tertuang ke dalam lima pilar. Kelima pilar itu adalah pembangunan budaya kelautan, kekuatan di laut, diplomasi kelautan, infrastruktur laut, dan pembangunan sumber daya manusia kelautan. Salah satu program untuk mewujudkan kelima pilar itu adalah menerapkan kurikulum kemaritiman. “Untuk tahap awal sejumlah sekolah telah dijadikan sekolah percontohan di berbagai provinsi,” katanya.
“Kita harapkan kebijakan ini kelak akan melahirkan generasi penerus yang memiliki karakter kemaritiman, dan mampu menjadikan laut sebagai masa depan kehidupan bangsa ini,” kata Alhanif.
Guru harus kreatif
Sementara itu, Sri Hidayanti mengatakan dalam pelaksanakan kurikulum kemaritiman ini, peran guru sebagai fasilitator sangat penting. “Kurikulum memang perlu sebagai pedoman, tapi pelaksanaan di lapangan sebaiknya harus ada inisiatif guru. Di sini guru dituntut lebih kreatif dalam pembelajaran sehingga dapat memasukkan nilai-nilai kemaritiman dalam setiap mata pelajaran, ” katanya.
Hidayanti menambahkan, dalam pembelajaran di sekolah guru perlu melakukan kontektualisasi materi dengan lingkungan. Misalnya peserta didik perlu di bawa ke tepi pantai untuk mengamato hal-hal yang berkaitan dengan kemaritiman. “Dengan demikian kelak pesera didik akan memiliki karakter kemaritiman, yaitu paham sejarah maritim, meyakini nilai-nilai kemaritiman, dan paham akan potensi maritim Indonesia,” kata Sri Hidayanti.
Pada kesempatan terakhir, Yusmiwati mengatakan bahwa di SMK Negeri 1 Sabang ada jurusan kemaritiman, yaitu Jurusan Kapal Niaga. Namun materi yang berhubungan dengan kemaritiman masih sangat sedikit, hanya 2 sks saat di kelas I.
Pada tataran pelaksanaan di lapangan, implementasi kurikulum kemaritiman ini masih menemuai banyak hambatan. Karena itu perlu kolaborasi berbagai pihak untuk mengatasi masalah ini. “Misalnya jika ada kegiatan Kemenkomarves yang berhubungan dengan kemaritiman, maka seharusnya juga melibatkan sekolah percontohan,” katanya.
Kepada para guru yang telah ikut diklat dalam masalah ini juga perlu ditagih sejauh mana telah dilaksanakan. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi sehingga ada perbaikan dalam pelaksanaannya.