Leading News For Education For Aceh
IndeksRedaksi

Hasil PISA Indonesia Masih Rendah, IGI Minta Menteri Nadiem Berani Revolusi Pendidikan

Hasil PISA tahun 2018 (doc. OECD)

ACEHSIANA.COM, Jakarta – Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 menunjukkan skor yang masih rendah dan bahkan menuju angka paling rendah. Skor Indonesia pada PISA tahun 2018 yang diselenggarakan oleh The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) masih dibawah rata-rata organisasi tersebut. Menanggapi masih rendahnya skor PISA Indonesia, Ikatan Guru Indonesia (IGI) meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim untuk melakukan revolusi pendidikan.

Ketua Umum IGI, Muhammad Ramli Rahim, menjelaskan bahwa hasil PISA tahun 2018 yang dirilis oleh OECD di Paris, Perancis, pada Selasa (3/12), menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca meraih skor rata-rata 371,. Skor ini, tambah Ramli, jauh di bawah rata-rata OECD yakni 487. Kemudian, kata Ramli, untuk skor rata-rata matematika yakni 379, sedangkan skor rata-rata OECD adalah 487. Ramli melanjutkan bahwa untuk sains skor rata-rata siswa Indonesia yakni 389, sedangkan skor rata-rata OECD yakni 489.

“Laporan OECD tersebut juga menunjukkan bahwa sedikit siswa Indonesia yang memiliki kemampuan tinggi dalam satu mata pelajaran, dan pada saat bersamaan sedikit juga siswa yang meraih tingkat kemahiran minimum dalam satu mata pelajaran. Dalam kemampuan membaca, hanya 30 persen siswa Indonesia yang mencapai setidaknya kemahiran tingkat dua dalam membaca. Bandingkan dengan rata-rata OECD yakni 77 persen siswa,” ucap Ramli.

Ramli menyarankan Indonesia untuk belajar dari negara tetangga Singapura. Pada survei PISA tahun 2015, terang Ramli, Singapura menempati posisi teratas dan PISA tahun 2018 pada posisi kedua. 

“Kunci utama keberhasilan Singapura tersebut terletak pada sistem pendidikan yang meritokrasi (berbasiskan pada keahlian atau prestasi), kurikulum, anggaran pendidikan, kualitas guru, dan desentralisasi pendidikan,” ungkap Ramli.

Untuk guru, tutur Ramli, Singapura memilih orang-orang terbaik yang diberikan beasiswa untuk menjadi guru. Dikatakan Ramli bahwa setelah jadi gurupun, guru harus mengikuti pengembangan karier 100 jam setiap tahunnya. Guru, jelas Ramli, mendapatkan kesempatan meraih beasiswa dalam dan luar negeri.

Ramli menyarankan Nadiem Makarim harus belajar dari berbagai kegagalan ini. Jika ingin mengubah Indonesia dalam waktu cepat, pinta Ramli, Nadiem mau tidak mau harus membuat revolusi dalam bidang pendidikan. Seperti usulan IGI, kata Ramli, di Singapura, Bahasa Inggris diberikan pada level SD dan Bahasa Inggris digunakan untuk mendapatkan ilmu lain pada level SMP dan SMA. Usulan itu dan 9 Usulan IGI lainnya harus betul-betul dikaji Nadiem Makarim.

“Nadiem harus mampu memainkan politik anggaran pendidikan dengan memprioritaskan anggaran pada ketersediaan guru Indonesia. Guru Indonesia hanya berjumlah 2.769.203 berdasarkan data dapodik,   artinya jika guru Indonesia diberikan upah rata-rata Rp.5.000.000/bulan maka setiap bulan hanya membutuhkan Rp. 13.846.015.000.000 atau hanya Rp. 166.152.180.000.000/tahun atau hanya 7,48% dari APBN,” tutup Ramli. (*)

Editor: Darmawan