Oleh: Taufik, S.Pd
Lima tahun yang lalu, saya pernah berdiskusi tentang abang saya tentang anaknya cheap Rolex daytona replica yang tak mampu membaca. Saat itu, saya ingat, kami di depan ruang inap sebuah rumah sakit. Kami sedang menjaga ayahanda kami yang sedang dirawat (sekarang beliau sudah almarhum).
Beliau berujar, “Apa saja kerjaan guru TK? Sudah setahun di TK, anak kita belum juga diajarkan membaca. Pas masuk SD, anak kita terkucil.”
Penasaran, saya bertanya “Pakon man, Bang (Kenapa, Bang)?”. Beliau pun Rolex submariner replica bercerita bahwa anak sulungnya bermasalah waktu masuk SD. Baru dua minggu masuk SD, guru sudah meminta anaknya menuliskan kalimat.
Sedangkan saat di TK, si anak hanya diajarkan pengenalan Huruf. “Boeh pane jeut aneuk teuh menyo lagee nyan (Lah, mana bisa anak kita kalau seperti itu caranya)!”, ucapnya dengan nada kecewa.
Saya memahami isi hati dari abang. Tentu saja kekecewaan beliau juga Cartier replica watches mewakili kekecewaan wali murid lainnya.
Semua orang tua, ingin anaknya bisa mengawali sekolahnya tanpa kendala. Jika di awal saja sudah mandeg, bermasalah, bagaimana ke depannya? Bagaimana dengan mentalnya?.
Saya menyarankan, jangan dulu menyalahkan satu pihak. Bisa jadi masalahnya bukan pada guru TK. Orang tua juga harus introspeksi jika anaknya belum bisa membaca. Karena yang kita tahu, TK adalah tempat anak untuk bermain.
“Seubeutoi jih kiban dilee aturan mengajar bak glah sa SD nyan (Sebetulnya bagaimana aturan mengajar di kelas satu SD itu?)”, tanya beliau sambil melirik. “Peu hana lagee bak buku ‘INI BUDI’ awai lee? (Apa tidak seperti di buku ‘INI BUDI’ yang dulu?”.
Kita tahu buku “INI BUDI” sangat familiar pada generasi 80-90-an. Bukunya sederhana, tapi begitu melekat dalam ingat kita pada saat itu. Disajikan secara berjenjang. Mulai dari kalimat dua kata sampai dengan yang lebih rumit. Format tulisannya pada halaman yang besar. Kata abang saya, buku itu lebih mengena, ramah terhadap perkembangan penglihatan dan perkembangan otak anak.
Kembali ke Peraturan Menteri
Kami juga guru pada jenjang sekolah menengah. Abang saya kepala Madrasah Tsanawiyah, dan saya sendiri masih guru matematika SMP pada saat itu. Pastinya kami agak sedikit awam dengan kurikulum yang ada di sekolah Dasar. Pembicaraan kami pada saat itu, mulai beralih ke ranah profesional.
“Aci ku mita dilee (dulu) kurikulum SD glah sa (Coba kucari dulu kurikulum SD kelas satu)”, kata abang saya sambil membuka android miliknya. Saya pun ikut serta. Kebetulan pada saat itu masih kurikulum 2013. Bagi saya pribadi, masalah kurikulum memang sudah tak asing lagi. Saya pernah masuk dalam Tim Pengembang Kurikulum Kabupaten (TPPK) jenjang SMP.
Setelah melihat sekilas beberapa web, kami memilih Permendikbud Nomor 37 Tahun 2018. Ini Peraturan Menteri (Permen) revisi kurikulum terbaru pada saat itu. Ternyata pemerintah telah mengatur pembelajaran untuk anak SD kelas 1 menjadi 11 urutan.
Pas kami telaah, diurutan pertama berbunyi, “Menjelaskan kegiatan persiapan membaca permulaan (cara duduk wajar dan baik, jarak antara mata dan buku, cara memegang buku, cara membalik halaman buku, gerakan mata dari kiri ke kanan, memilih tempat dengan cahaya yang terang, dan etika membaca buku) dengan cara yang benar”.
“O Po lon (O Tuhanku).” Kami terkejut. Ada 11 urutan yang harus diajarkan guru kelas 1 SD dalam 1 tahun. Dalam 1 semester berkisar antara 5 s.d 6 urutan. Semester satu ada 20 minggu yang efektif belajar bagi anak. Jika 20 Minggu dibagi 6 urutan, maka setiap satu blok urutan menghabiskan waktu 3 – 4 minggu untuk diajarkan.
Tentu saja urutan belajar seorang anak itu dari mudah ke yang sulit. Yang membuat kami terkejut, rupanya di tiga minggu pertama anak masuk SD, tugas guru masih hanya menjelaskan persiapan membaca.
Kembali ke percakapan kami, “Peu alasan guru? Aneuk teuh baro 2 minggu dijak sikula SD, ka geuyue tuleh kalimat (Apa alasan guru? Anak kita baru 2 minggu masuk sekolah, sudah diminta menulis kalimat),” ujar abang saya, mengkal. Saya tersenyum manis dan menjawab, “Mungkin buku pegangan”. Ternyata hidup tak seindah yang kita bayangkan he he
Profesionallah Wahai Guru
Saya yakin, di luar sana banyak para orang tua juga mengeluhkan hal tersebut. Karena yang kita takutkan, ini yang menjadi “Benang Merah”, penyebab anak lulusan Sekolah Dasar (SD/MI) belum bisa atau belum lancar membaca.
Ada pepatah yang berkata “biarlah buah matang di pohon”. Semua membutuhkan tahapan yang harus dilalui, agar rasanya manis. Begitu juga anak-anak kita. Anak kelas 1 SD sebenarnya masih turunan dari TK. Masih suka bermain. Maunya dipuja-puji. Mentalnya masih sangat labil. Bahkan, terkadang, anak-anak itu lebih mencintai gurunya ketimbang orang tuanya sendiri.
Bayangkan, jika lagi semangat-semangatnya ingin belajar di SD, tapi mereka gagal paham, dan susah untuk paham. Bukankah sirna semangat mereka yang sangat berharga itu?
Guru dengan alasan waktu dan berbagai alasan lainnya akan terus melanjutkan materi pembelajaran. Sekolah dengan keterbatasan kemampuan kepala sekolahnya pun tanpa membuat program binaan khusus. Akhirnya anak jadi korban.
Bagi keluarga yang sejahtera secara ekonomi, umumnya punya waktu untuk mendampingi si buah hati atau dengan solusi les privat. Bagaimana dengan mereka yang kurang mampu?
Awal tahun 2023 saya ditugaskan jadi kepala SMP di sebuah sekolah pelosok Kabupaten Pidie Jaya. Langkah awal yang saya lakukan adalah dengan melakukan asesmen awal untuk seluruh siswa. Kelas 7 sampai kelas 9. Hasilnya, 12 dari 53 total siswa, belum bisa membaca. Anak-anak yang tidak mampu membaca tersebut semuanya dari keluarga kurang mampu. Kami pun membuat program. Setiap anak wajib dibina 15 menit setiap harinya, khususnya membaca.
Sebagian guru memang sadar, bagaimana kondisi hidup serba kekurangan. Para ayah yang pergi pagi pulang sore mencari nafkah untuk keluarga. Di sisi lain, sebagai guru kita tidak mungkin mengembalikan “Ini Budi” ke masa sekarang. Tapi kita bisa menciptakan aliran “Ini Budi” sesuai dengan tuntutan zaman.
Simpan dulu buku paketmu di laci meja, jika memang memberatkan anak-anak didik mu. Belajarlah melihat perubahan. Belajarlah memahami antara teori dan realita yang terkadang tak searah. Belajarlah dari Instagram. Cantik di layar hape, tapi pas ketemu jadi enggan bertemu kembali.
Belajarlah, sehingga lahirlah Gen-z atau Gen-Alpha dengan “Ini Budi” kekinian. Karena masa depan mereka ada di tanganmu. Bukankah Ali Bin Abi Thaib pernah berkata, “Didiklah anak sesuai dengan zamannya. Karena mereka hidup pada zamannya, bukan pada zamanmu”.
Taufik, S.Pd., Kepala SMPN 3 Ulim, Pidie Jaya.