ACEHSIANA.COM, Banda Aceh – Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud Ristek), Hilmar Farid, menekankan pentingnya peningkatan riset terhadap kekayaan budaya dan biokultural di Aceh, terutama terkait tanaman langka yang memiliki potensi besar untuk pengobatan.
Hal ini diungkapkan Hilmar saat memberikan kuliah umum di Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh pada Kamis (5/9).
“Aceh memiliki banyak tanaman langka yang berpotensi besar untuk pengobatan, tetapi riset yang mendalam terhadap potensi tersebut masih minim,” ujar Hilmar Farid di hadapan peserta kuliah umum.
Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian toer studium generale yang diadakan di 11 universitas di Indonesia.
Hilmar menyoroti kekayaan biokultural Aceh, khususnya ekosistem Leuser, Ulu Masen, serta hutan mangrove, yang erat kaitannya dengan budaya lokal Aceh namun belum dimanfaatkan secara optimal.
Menurutnya, kekayaan ini berpotensi menjadi dasar pengembangan gaya hidup sehat berbasis kearifan lokal, serta membuka peluang besar dalam bidang pengobatan tradisional yang berbasis riset ilmiah.
“Banyak pengobatan modern yang berasal dari pengetahuan tradisional, seperti aspirin dan kina. Tetapi, potensi biokultural di Indonesia, termasuk Aceh, belum dimanfaatkan secara optimal,” tegasnya.
Dirjen Kebudayaan juga menekankan bahwa pemanfaatan kekayaan biokultural yang tepat tidak hanya dapat mendorong inovasi dalam bidang kesehatan, tetapi juga memperkuat identitas budaya Aceh di tengah dinamika perubahan global.
Hilmar menambahkan, pengelolaan yang bijak terhadap kekayaan biokultural akan membantu menjaga ketahanan budaya lokal serta mencegah pengaruh budaya asing yang dapat menggerus nilai-nilai kearifan lokal.
Lebih lanjut, Hilmar menyoroti kekurangan dalam pendidikan tinggi di bidang kebudayaan di Aceh. Ia mencatat bahwa belum adanya program pendidikan tinggi di bidang Arkeologi, Epigrafi, Antropologi, Film dan Televisi, serta Tata Kelola Seni di Aceh menjadi hambatan bagi pengembangan sektor budaya yang lebih mendalam dan berkelanjutan.
“Pendidikan tinggi dalam bidang kebudayaan di Aceh bukan hanya kebutuhan, tetapi juga merupakan landasan penting agar masyarakat dapat memanfaatkan biokultural yang ada di masa depan,” ujar Hilmar.
Untuk mewujudkan hal ini, Hilmar mendorong adanya kolaborasi multisektor antara berbagai pihak, seperti Wali Nanggroe Aceh, Majelis Adat Aceh, Dewan Kesenian Aceh, dan Dewan Kebudayaan Aceh, guna merumuskan kebijakan budaya yang lebih komprehensif dan terintegrasi.
Selain itu, Hilmar juga mengajak masyarakat Aceh untuk lebih aktif terlibat dalam berbagai inisiatif seni dan budaya, termasuk pemanfaatan ruang publik sebagai pusat kegiatan budaya.
Ia menekankan bahwa partisipasi publik sangat penting untuk menjaga keberlanjutan budaya Aceh dan mendorong kreativitas dalam pengelolaan kekayaan biokultural.
“Kolaborasi antara berbagai elemen dan partisipasi masyarakat akan menciptakan landasan yang kuat untuk melestarikan budaya Aceh dan menjadikannya lebih relevan di tengah perubahan global,” tutup Hilmar.
Pernyataan Hilmar Farid ini disambut dengan antusiasme oleh kalangan akademisi dan pegiat budaya di Aceh, yang berharap agar riset dan pendidikan tinggi di bidang kebudayaan bisa segera dikembangkan di provinsi tersebut. (*)
Editor: Darmawan