ACEHSIANA.COM, Jakarta – Communication & Information System Security Research Center (CISSRec) menyebutkan bahwa dalam hal kondisi pendidikan teknologi di Indonesia, guru lebih gagap teknologi (gaptek) dibandingkan siswa. Hal itu disebutkan Pengamat Teknologi Informasi dan Komunikasi CISSRec, Pratama Persadha pada Senin (9/8) di Jakarta.
Menurut Pratama, kondisi pendidikan teknologi di Indonesia saat ini masih belum maju jika dibandingkan negara-negara lain dan harus segera mengejar ketertinggalan.
“Salah satu kendala utamanya, yaitu ada di pengajar yang kurang kompeten di bidang teknologi. Para guru lebih gaptek dibandingkan dengan muridnya,” ujar Pratama.
Dikatakan Pratama bahwa kurikulum yang ada di Indonesia harus diperbarui agar dapat mengejar ketertinggalan. Semua elemen, tambah Pratama, baik dari masyarakat, pejabat, swasta, ataupun institusi pemerintah harus selalu up to date mengenai pendidikan teknologi.
Pratama menambahkan bahwa tidak adanya pendidikan sejak awal membuat pemahaman yang didapat masyarakat hanya seputar pasal-pasal dari KUHP, UU Pornografi, dan UU ITE.
“Hanya pendekatan top down dan pendekatan law enforcement. Sedangkan pendekatan bottom up dan kultural lewat pendidikan serta edukasi teknologi ini hampir tidak ada,” lanjut Pratama.
Ditambahkan Pratama bahwa pada kurikulum pendidikan tidak ada yang mengajarkan bagaimana berinternet yang sehat, aman, dan produktif. Adanya norma budaya dan agama, itu tidak cukup. Apalagi para orang tua, pejabat pemerintahan, tokoh masyarakat dan tokoh agama ini kan bukan native digital, tidak mengenal lebih dalam dunia digital.
“Pemerataan infrastruktur internet menjadi tantangan terbesar dalam menyelenggarakan pendidikan teknologi karena saat ini lebih banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa,” kata Pratama.
Pratama menuturkan bahwa hal tersebut penting dilakukan agar tercipta pendidikan teknologi di seluruh Tanah Air termasuk kota-kota yang melek siber dan menjadi pusat inovasi digital berlokasi di luar Jawa. Pratama mengambil contoh kesuksesan Bangalor di India sebagai Sillicon Valley baru dunia, yang lokasinya jauh dari ibu kota New Delhi.
“PR (pekerjaan rumah) kita sangat banyak. Bisa dimulai dengan memperbanyak konten edukasi guru dan murid. Pengajarnya tidak harus selalu guru, bisa dari profesional atau aktivis relawan siber,” tutur Pratama.
Sementara itu Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menyampaikan hal serupa. Menurut Heru, pemerataan internet menjadi permasalahan yang harus segera dituntaskan.
“Belum merata kan. Yang pelosok-pelosok itu masih banyak yang belum tersentuh. Ini PR besar pemerintah juga untuk memberi perhatian pada teknologi kerakyatan yang bisa dirasakan manfaatnya oleh banyak orang,” pungkas Heru. (*)
Editor: Darmawan