Oleh: Ners. Ismailinar, M.Kep.
Body dysmorphia, atau body dysmorphic disorder (Bed), merupakan gangguan psikologis yang ditandai dengan obsesi berlebihan terhadap ketidaksempurnaan fisik yang sering kali hanya ada dalam persepsi individu itu sendiri.
Meskipun tampak sepele, gangguan ini dapat berdampak signifikan pada kesehatan mental, menyebabkan kecemasan, depresi, dan bahkan keinginan untuk mengisolasi diri dari lingkungan sosial.
Individu dengan BDD kerap merasa tidak puas dengan aspek tertentu dari penampilan mereka, misalnya merasa hidung terlalu besar, kulit tidak cukup halus, atau bentuk tubuh tidak ideal. Padahal, dalam pandangan orang lain, ketidaksempurnaan tersebut sering kali tidak tampak atau bahkan tidak dianggap sebagai suatu masalah.
Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan, seperti Instagram dan TikTok, berkontribusi terhadap meningkatnya risiko seseorang mengalami BDD. Standar kecantikan yang dipromosikan melalui media sosial sering kali tidak realistis dan sulit dicapai secara alami.
Penggunaan filter, aplikasi penyuntingan foto, dan teknik pencitraan digital menciptakan ekspektasi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Akibatnya, banyak individu yang merasa tertekan dan mulai membandingkan diri mereka dengan citra yang sebenarnya telah mengalami banyak manipulasi digital.
Distorsi ini dapat memperburuk ketidakpuasan terhadap tubuh sendiri, yang merupakan salah satu karakteristik utama dari BDD.
Dampak dari gangguan ini tidak hanya sebatas perasaan tidak puas terhadap penampilan, tetapi juga memengaruhi aspek kehidupan lainnya. Individu yang mengalami BDD sering kali menghindari interaksi sosial karena takut dinilai oleh orang lain. Dalam kasus yang lebih ekstrem, mereka mungkin menempuh prosedur kosmetik yang tidak diperlukan dengan harapan memperbaiki “cacat” yang mereka anggap nyata, meskipun akar permasalahan sesungguhnya terletak pada persepsi diri. Sayangnya, intervensi medis jarang memberikan solusi jangka panjang, karena masalah utama bukanlah fisik, melainkan psikologis.
BDD juga dapat menurunkan produktivitas dan kualitas hidup seseorang. Penderita bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk bercermin atau, sebaliknya, menghindari cermin sama sekali. Perilaku obsesif ini dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, pekerjaan, dan hubungan sosial mereka. Lebih dari itu, individu dengan BDD berisiko lebih tinggi mengalami gangguan kecemasan berat, depresi mendalam, bahkan ide atau upaya bunuh diri.
Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan BDD memiliki risiko empat kali lebih tinggi untuk mengalami pikiran bunuh diri dibandingkan mereka yang tidak memiliki gangguan ini.
Kelompok yang Rentan terhadap Body Dysmorphia
1. Remaja dan Generasi Muda
Masa remaja merupakan fase di mana identitas diri sedang dibangun, sehingga pengaruh dari lingkungan sosial dan media sangat besar. Tekanan untuk memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis sering kali membuat kelompok ini lebih rentan terhadap BDD.
Sebuah survei di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa 61% remaja merasa tidak puas dengan tubuh mereka setelah mengonsumsi konten media sosial secara intensif.
2. Individu dengan Riwayat Trauma atau Bullying
Pengalaman negatif, seperti perundungan terkait penampilan fisik, dapat meninggalkan dampak psikologis yang mendalam dan memicu obsesi berlebihan terhadap citra tubuh.
3. Mereka yang Mengalami Gangguan Mental Lain
BDD sering terjadi bersamaan dengan gangguan mental lainnya, seperti gangguan obsesif-kompulsif (OCD), depresi, atau kecemasan, yang semakin memperburuk kondisi individu.
Strategi Mengatasi Body Dysmorphia
Mengatasi BDD di era digital memerlukan pendekatan yang komprehensif. Tidak cukup hanya dengan mengurangi paparan media sosial, tetapi juga diperlukan peningkatan kesadaran akan pentingnya penerimaan diri dan keberagaman dalam standar kecantikan. Beberapa langkah yang dapat dilakukan meliputi:
1. Pendidikan Literasi Digital dan Media
Masyarakat, terutama generasi muda, perlu diberikan pemahaman yang lebih baik mengenai realitas di balik media sosial.
Menyadari bahwa banyak konten visual telah mengalami proses penyuntingan akan membantu individu mengembangkan perspektif yang lebih kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh standar kecantikan yang tidak realistis.
2. Peningkatan Kesadaran akan BDD
Masih banyak individu yang belum memahami apa itu body dysmorphia atau menganggapnya sebagai masalah sepele. Oleh karena itu, kampanye publik dan diskusi terbuka mengenai gangguan ini sangat diperlukan untuk mengurangi stigma serta mendorong mereka yang terdampak untuk mencari bantuan profesional.
3. Terapi Psikologis
Pendekatan psikoterapi, seperti Cognitive Behavioral Therapy CBT), terbukti efektif dalam membantu individu dengan BDD mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif mereka terkait penampilan.
4. Mengurangi Ketergantungan pada Filter dan Editing Foto
Beberapa platform media sosial telah mulai memberikan label pada foto yang telah diedit secara digital guna mengurangi tekanan sosial. Namun, perubahan ini juga harus didukung oleh kesadaran individu untuk menerima diri mereka apa adanya.
5. Promosi Narasi Positif tentang Citra Tubuh
Tokoh publik dan influencer memiliki peran besar dalam membentuk opini masyarakat. Dengan mempromosikan keberagaman dan keaslian dalam standar kecantikan, mereka dapat membantu mengubah pola pikir kolektif menjadi lebih inklusif dan realistis.
6. Praktik Self Love dan Self Compassion
Mengembangkan kebiasaan berpikir positif terhadap diri sendiri merupakan langkah penting dalam meningkatkan kesejahteraan mental. Menggunakan afirmasi positif, merawat diri tanpa tekanan untuk menjadi “sempurna,” serta mengapresiasi keunikan diri sendiri dapat membantu membangun rasa percaya diri yang lebih sehat.
7. Dukungan Sosial dari Keluarga dan Teman
Lingkungan sosial yang suportif dapat memberikan dampak besar terhadap pemulihan individu dengan BDD. Dukungan emosional serta pemahaman dari keluarga dan teman dapat membantu mereka merasa lebih diterima dan termotivasi untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
Di tengah gempuran media sosial dan standar kecantikan yang semakin tidak realistis, kita perlu bertanya: apa sebenarnya arti kecantikan? Apakah itu hanya sekadar memenuhi ekspektasi orang lain, atau lebih kepada menerima dan mencintai diri sendiri? Jawaban dari pertanyaan ini tentu bersifat subjektif, tetapi satu hal yang pasti, obsesi terhadap ketidaksempurnaan hanya akan menjauhkan kita dari kebahagiaan. Pada akhirnya, filter hanyalah alat, bukan cermin sejati. Nilai diri seseorang tidak semata ditentukan oleh penampilan fisik, tetapi lebih kepada karakter, kebaikan hati, dan pola pikir yang sehat.
Penulis: Ners. Ismailinar, M.Kep.
Dosen Poltekkes Kemenkes Aceh,
Prodi Keperawatan Aceh Utara